Sunday, November 20, 2011

Bocah Lampu Merah

"SELAMAT pagi. Selamat pagi. Selamat pagi. Selamat pagi semuanya," begitulah bocah itu memberi salam setiap paginya ketika melewati lorong sempit itu. Anggur Merah nama lorong sempit itu. Dengan membawa sebuah tas, ia berlari melewati lorong sempit tersebut dengan penuh semangat. "Selamat pagi juga," jawab orang-orang di setiap lorong tersebut dengan ramah.

"Awas, hati-hati di jalan," ada lagi yang memberi nasehat padanya. "Hei, jangan lari terus, awas jatuh," nasehat pamannya, yang rumahnya di ujung lorong sempit tersebut. "Iya Paman, terima kasih semuanya," jawabnya dengan ramah sambil melambaikan tangan kanannya kepada pamannya.
***
"Selamat pagi semuanya. Maaf aku terlambat." "Pagi juga," semua teman-temannya memberi salam balik padanya secara serempak. "Tidak apa-apa, kamu hanya terlambat 1 menit kok," salah satu temannya menambahkan. Raya namanya. Ia adalah pemimpin mereka. "Tapi tetap terlambat. Kita harus konsekuen dengan aturan yang kita buat sendiri. Artinya yang terlambat harus dihukum, apa pun alasannya," bantah Agus, salah satu dari mereka. "Iya, iya, betul sekali. Kita harus konsekuen dengan aturan yang kita buat," yang lain menambahkan.

"Sudah, sudah. Baiklah kalau begitu. Menurut aturan yang telah kita sepakati bersama, maka ia hanya mendapat upah 50 persen untuk hari ini dari upah yang semestinya," Raya memberikan putusan.

Hari itu karena terlambat 1 menit, bocah itu pun hanya menerima setengah upah dari yang semestinya. Namun, ia tetap bekerja dengan semangat seperti biasanya, karena itu adalah peraturan yang dibuat bersama dan harus dipatuhi apapun alasannya. Semuanya bekerja dengan senang dan penuh semangat. Mereka adalah bocah-bocah lampu merah. Itu adalah nama atau julukan yang tepat buat mereka karena di sanalah mereka mencari dan mengais nafkah dan rejeki. Menjual surat kabar.
***
"Koran, koran, koran," begitulah mereka berteriak menjajakan surat kabar itu. "Pak, korannya?" tawar bocah itu. "Maaf, sudah beli," jawab bapak itu dengan wajah muram.

"Mungkin lagi sedih karena ditinggal selingkuhannya," gumam bocah itu dalam hatinya. "Adik.adik, berapa harga korannya?" tanya seorang ibu muda dari dalam mobil milik suaminya yang adalah seorang pejabat di daerah itu. "Tiga ribu rupiah Bu."

"Ibu beli satu ya. Ini uangnya." Ibu muda itupun mengambil uang dari dalam tasnya dan memberikannya kepada bocah itu dengan senyuman yang ramah. "Terima kasih banyak Bu. Tuhan memberkatimu", bocah itu mendoakan ibu itu. "Koran, koran, koran. Berita hangat, berita terbaru, pemerintah gratiskan biaya sekolah mulai dari SD, SMP sampai dengan SMA!!!!", bocah itu kembali berteriak dengan kerasnya untuk menjajakan korannya.

"Berita hangat. Berita hangat, perselingkuhan terjadi di kantor-kantor pemerintah!!!!", Yang lainpun ikut berteriak mengenai isi dari berita hari itu. "Koran, koran. Berita hari ini: `Pegawai negeri sipil banyak berkeliaran di pasar pada jam kerja", Raya pun tak mau kalah dari teman-temannya yang lain. Walaupun sebagai pemimpin diantara mereka, ia pun ikut menjual koran seperti yang lainnya. Bagi mereka pemimpin adalah sahabat yang turut merasakan apa yang dirasakan dan dialami oleh sahabat-sahabatnya. Mereka saling menolong dan melengkapi antara satu dan yang lainnya.
***
Waktu menunjukkan pukul. 09.00. Koran-koran mereka telah terjual habis. Dengan rindang pohon taman di sekitar lampu merah itu, mereka berteduh di bawahnya. Bocah-bocah itu berusia dari 5 sampai 10 tahun. Keringat mengalir dari kening, wajah dan badan mereka. Wajah mereka kelihatan lemas tapi mata mereka terus berbinar karena mereka telah bekerja dengan baik di pagi itu, di lampu merah itu. Bocah dari lorong Anggur Merah itupun duduk bersilah di tengah teman-teman yang lainnya.

"Selamat, selamat buat kita semua. Hari ini kita telah bekerja dengan baik dan penuh semangat. Terima kasih untuk semuanya", Raya meluapkan kegembiraan dan kebanggaannya kepada semua teman-temannya tersebut. Tapi diantara mereka ada yang belum lengkap.

"Agus di mana?" tanya mereka serempak. Mereka mulai mencarinya. Ternyata ia masih menjajakan korannya. "Agus, apa korannya masih banyak yang belum terjual?" tanya bocah itu. "Tidak, ini tinggal satu saja kok " sahutnya dari jauh. Setelah selesai menjualnya Agus pun bergabung.

"Maaf ya, tadi aku kira sudah habis ternyata masih ada satu yang ketinggalan dalam tasku". "Tidak apa-apalah, yang penting sekarang sudah terjual habis dan kita semua dapat berkumpul di sini kembali dengan lengkap. Asal saja jangan sampai kau juga dibeli `Gus", Raya bergurau, yang membuat semua teman-temannya dan Aguspun tertawa. Bocah itupun ikut tertawa dengan begitu lucunya.


Waktunya untuk membagikan jatah untuk hari itu. Semuanya telah berkumpul dan siap untuk menerima jatah pada hari itu. Mereka berjumlah 5 orang, dari tempat tinggal yang berbeda-beda. Karena hari itu, koran-koran yang terjual cukup banyak, maka mereka pun mendapat upah yang cukup banyak. Setiap orang mendapatkan dua puluh ribu rupiah. Bocah dari lorong Anggur Merah itu pun hanya mendapatkan 50 persen darinya, yakni sepuluh ribu rupiah. Tetapi ia tetap bergembira dengan semuanya itu dan juga teman-teman lainnya, karena semua itu adalah hasil keringat mereka sendiri dengan penuh kejujuran.

Setelah menerima jatah yang dibagikan oleh Agus sebagai bendahara, mereka semuanya pun saling memberi salam dan berlompat kegirangan sambil bernyanyi dan menari. Bocah dari lorong Anggur Merah itu pun ikut larut di dalamnya.

***
Setelah menerima jatah masing-masing, mereka mulai bermimpi tentang masa depannya. Bercerita dan bermimpi untuk menjadi orang-orang yang terkenal dan terpandang. "Kalau aku besar nanti aku mau jadi Presiden. Dan aku akan menaikkan jatah buat penjual Koran. Hahaha" gumam salah satu dari antara mereka disertai tawa dari yang lainnya.

"Agus, kalau kamu mau jadi apa nanti?" tanya Raya. "Kalau aku mau jadi Anggota Dewan sajalah, seperti Anggota Dewan kita sekarang ini yang suka adu jotos, soalnya badanku besar dan full power. Jadi, pasti aku yang lebih kuat dan ditakuti. Hahaha".

"Bisa saja kamu `Gus", sambil berkata demikian Raya menggeleng-geleng kepalanya.

"Kalau aku nanti jadi gubernur sajalah, biar bisa bangun taman-taman imitasi buat rakyat yang kebanyakan tidak sekolah karena biaya pendidikan yang melambung tinggi seperti sekarang ini dan juga jadikan lorong sempit Anggur Merah sebagai lorong tersempit di dunia. Hahaha," mimpi Raya disertai tawa dari bocah dari lorong Anggur Merah dan yang lainnya.

Kemudian bocah dari lorong Anggur Merah itu pun ikut berucap, "Sebenarnya aku tidak suka kopi asin yang rasanya hambar dan tidak enak. Tapi aku telah minum kopi asin seumur hidupku. Aku tidak pernah merasa menyesal atas apapun yang telah kulakukan untukmu. Hidup bersamamu sungguh merupakan kebahagiaan terbesar bagiku.

Andai aku dapat hidup lagi untuk kedua kalinya, aku masih ingin mengenalmu dan hanya memilikimu dalam hidupku, walaupun aku harus minum kopi asin lagi sepanjang hidupku." Selesai berucap demikian mereka pun meninggalkan tempat itu, Lampu Merah.


Mereka kembali ke rumahnya masing-masing dengan mimpi-mimpi yang dibawanya dari lampu merah itu. Bocah itu pun kembali ke rumahnya melewati lorong sempit Anggur Merah itu. "Selamat siang, selamat siang, selamat siang, selamat siang semuanya," salam bocah itu untuk setiap orang di lorong sempit Anggur Merah karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.00. *

0 comments:

Post a Comment