Thursday, February 23, 2012

Kaldera Gunung Api yang Menghidupi

Sinar matahari menguak kabut yang menyelimuti kaldera Dieng, Jawa Tengah. Petani menyusuri pematang sambil memikul keranjang kentang hasil panen. Geliat kehidupan itu disaksikan Gunung Sindoro yang puncaknya menjulang di antara perbukitan yang membentengi Dieng.

Watno (28) yang sedang memanen kentang sekilas melihat ke arah Gunung Sindoro, yang aktivitas vulkaniknya meningkat pada 2011. Namun, Watno tidak risau dengan peningkatan aktivitas vulkanik Sindoro. Ia lebih mengkhawatirkan penurunan produktivitas lahan dan membanjirnya kentang impor.

Lahan miliknya pada musim panen akhir 2011 hanya menghasilkan 700 kilogram kentang dari satu kapling seluas sekitar 100 meter persegi. Padahal, biasanya bisa menghasilkan 1 ton kentang.

Selain menghadapi masalah produktivitas lahan, petani juga menghadapi persoalan membanjirnya kentang impor yang harganya murah, hanya Rp 3.000 per kilogram. Akibat membanjirnya kentang impor, harga kentang lokal anjlok dari Rp 6.000-Rp 8.000 per kilogram menjadi sekitar Rp 4.000 per kilogram.

”Sudah harga anjlok, petani harus memberi banyak pupuk untuk meningkatkan produktivitas lahan,” kata Watno.

Kesuburan tanah di Dieng terus berkurang setelah eksploitasi besar-besaran selama ratusan tahun. Namun, Dieng tetap tak kehilangan daya tarik. Kesuburan tanah Dieng telah menjadi magnet yang sangat kuat sejak masa lalu. Jejaknya bisa dilihat hingga sekarang berupa banyaknya candi yang dibangun di Dieng pada abad ke-7 dan ke-8 Masehi, misalnya Candi Bima, Candi Gatotkaca, dan Candi Pendawa.

Tanah vulkanik yang subur menjadi daya tarik ekonomi dan penggerak kehidupan, dengan menihilkan risiko bahaya dari sejumlah kawah di Dieng. Misalnya Edi Kartono (55). Setelah 17 tahun bekerja di sebuah badan usaha milik negara, lelaki asal Yogyakarta ini memilih menjadi petani di Dieng. Ia membeli lahan seluas 10.500 meter persegi dan kemudian ditanami kentang.

Komoditas kentang menjadi daya tarik tersendiri bagi petani di Dieng karena tanah dan udaranya cocok serta keuntungannya sangat menggiurkan, Rp 30 juta-Rp 40 juta sekali panen, jika harga sedang bagus.

Potensi bencana

Selama bertahun-tahun, warga setempat dan masyarakat pada umumnya mengenal Dieng sebagai dataran tinggi atau biasa disebut plato.

Karena memiliki kandungan energi panas bumi yang besar, Pertamina bersama PLN mengeksplorasi sebagian potensi kawasan itu untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi yang ditangani PT Geo Dipa Energi.

Sekitar 2 kilometer dari kompleks Candi Dieng terdapat kawah Sikidang. Dinamakan Sikidang karena lokasinya yang berpindah-pindah seperti kijang yang melompat-lompat. Selain Sikidang, di sekitar Dieng juga terdapat delapan kawah lain, seperti Sinila, Timbang, dan Candradimuka.

Meski tahu Dieng merupakan dataran tinggi, sebagian besar masyarakat tidak sadar bahwa dataran yang mereka tempati merupakan kaldera atau kawah raksasa yang hingga saat ini masih menyisakan titik-titik kawah aktif.

”Di sini aman-aman saja,” kata Isroi (80), warga Desa Sikunang, Kejajar, Wonosobo.

Yahminah (40), warga Desa Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara, juga tidak tahu bahwa kawasan Dataran Tinggi Dieng merupakan kaldera gunung api. ”Tidak pernah ada penjelasan,” ujarnya singkat.

Yahminah tidak sendirian. Hasil penelitian bertajuk ”People’s Behaviour in the Face of Volcanic Hazards: Perspectives from Javanese Communities, Indonesia (2008)” yang dilakukan Universitas Gadjah Mada bersama sejumlah lembaga Perancis menyebutkan, 43 persen dari responden penelitian itu tidak tahu bahwa mereka hidup di kaldera Gunung Api Dieng. Mereka mengetahui adanya ancaman gas beracun di Dieng, tetapi tidak ada bayangan bahwa gas beracun itu hasil kerja gunung api.

Ancaman gas beracun dari sejumlah kawah pun tidak mampu memadamkan geliat kehidupan di cekungan subur pada ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut itu. Masyarakat tetap bertahan meskipun pada 1979 kawah Sinila menyemburkan gas karbon dioksida yang menewaskan 149 penduduk. Semburan gas beracun itu kembali terulang pada 2011 melalui kawah Timbang.

Meski demikian, bagi sebagian besar warga, Dieng tetap saja menjadi daerah nan subur yang setiap jengkal tanahnya mampu menghasilkan puluhan ton kentang bernilai jutaan rupiah. Tak hanya pertanian, Dieng dengan iklim pegunungan yang bisa mencapai suhu 5 derajat celsius juga mampu menarik ribuan wisatawan setiap hari.

Namun, di tengah pesona dan berkah kesuburan tanahnya, Dieng tetap menyimpan ancaman bahaya yang siap mengincar setiap saat. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono mengatakan, Dieng merupakan salah satu gunung api aktif yang aktivitasnya terus dipantau secara intensif.

Selain karena aktivitasnya, pemantauan ini terutama juga karena padatnya hunian masyarakat di Dieng. Lebih mengkhawatirkan lagi karena sebagian masyarakat yang tinggal di dalamnya ternyata tak menyadari bahwa mereka hidup di dalam kawah gunung api.

0 comments:

Post a Comment